BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Berawal pada bulan April
tahun 1988 ketegangan terjadi di kepulauan Spratly antara Vietnam dengan Republik Rakyat Cina (RRC). Angkatan
Laut Vietnam dihalang-halangi oleh
dua puluh kapal perang RRC yang sedang berlayar di Laut Cina Selatan sehingga
terjadi bentrokan. Bentrokan antara RRC dan Vietnam ini merupakan bagian dari bentrokan bersenjata yang terjadi sebulan sebelumnya yang mengakibatkan hilangnya 74 tentara Vietnam. Sejak saat itu, peristiwa ini kemudian dikenal sebagai peristiwa 14 Maret 1988.
Sebenarnya Pertikaian di
kepulauan Spartly sudah berlangsung sejak lama dan aktor yang berperan di dalamnya pun tidak hanya Vietnam dan
RRC, tetapi juga melibatkan dua negara anggota ASEAN, yaitu Malaysia dan
Filipina, serta Taiwan. Karena klaim-klaim
tersebut bisa berdasarkan klaim atas sejarah yang beraneka ragam, konsiderasi
ekonomi, serta pertimbangan geostrategis negara-negara yang terlibat. Selain itu, Zona Ekonomi Eksklusif
(ZEE) dari hampir semua negara yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan saling
tumpang tindih, sehingga menimbulkan masalah dalam penentuan batas. Klaim kepemilikan sejumlah pulau-pulau kecil di Laut Cina Selatan juga memperbesar permasalahan
ini sehingga menimbulkan ketegangan tentang hak atas laut teritorial atau
Landas Kontinen.[i]
Dilihat dari peta biasa
kemungkinan orang tidak akan menemukan nama kepulauan Spratly. Spratly merupakan sebuah gugusan
pulau-pulau kecil dan pulau-pulau karang yang jumlahnya kira-kira sekitar 600-an. Sedangkan 100-an diantaranya sering tertutup permukaan air
laut jika sedang pasang. Berdasarkan peta klaim yang dikeluarkan masing-masing negara yang terlibat, nama kepulauan Spartly akan berbeda-beda. Seperti Filipina menyebutnya denganKalayaan (tanah
kebebasan),Vietnam menyebutnya dengan Dao Truong Sa, sedangkan Cina menyebutnya dengan Nansha Qundao. Perbedaan
nama tersebut dimaksudkan agar kepulauan tersebut diklaim sebagai milik negara yang memberikan nama. Namun, nama internasional yang
lazim diberikan kepada gugusan pulau itu ialah Spratly. Letaknya di sebelah
Utara Sabah lebihcondong ke arah
Barat Laut dan di sebelah Barat daya Filipina.[ii]
Kenyataannya terjadi
perang klaim dan upaya-upaya penguasaan atas kepulauan Spartly. Persoalannya menjadi semakin krusial karena klaim-klaim
tersebut saling tumpang tindih yang disebabkan masing-masing negara mengklaim kepemilikannya yang berdasarkan versinya sendiri, baik secara historis maupun secara legal formal (tertulis), serta proses penguasaan dandasar argumentasi yang dikemukakan masing-masing
negara itu untuk menguasai gugusan pulau yang terdapat di Spratly.
1.2. Rumusan Masalah
Dari identifikasi masalah di atas, ada 2
pertanyaan yang menjadi perhatian penulis, yaitu:
1. Apa faktor yang
melatarbelakangi Cina mengklaim kepemilikan atas
kepulauan Spratly?
2. Bagaimana upaya
diplomasi yang telah dilakukan ASEAN untuk mengatasi permasalahan atas klaim
kepulauan Spartly?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Kepulauan
Spratly
Terdapat enam negara
yang mengklaim kepemilikan atas Kepulauan Spratly yaitu Cina, Vietnam, Brunei
Darussalam, Filipina, Taiwan dan Malaysia. Berdasarkan hukum laut ZEE, dari ke
enam negara tersebut sebenarnya hanya Malaysia, Brunei Darussalam, dan Filipina
yang berhak atas kepemilikan dan pengelolaan kepulauan Spartly, karena hanya
ketiga negara tersebut yang Zona Ekonomi Eksklusifnya mencapai Kepulauan
Spratly. Status kepemilikan kepulauan tersebut tidak terlepas dari hukum atau
peraturan yang ada mengenai kelautan.
Ahli kelautan Hugo De
Groot pada tahun 1609 memperkenalkan azas kelautan yang kemudian dikenal dengan azas laut bebas (mare liberium) yang menyatakan bahwa keberadaan laut
bebas berhak untuk dieksploitasi oleh siapa saja tetapi tidak dapat dimiliki
oleh siapapun juga. Kemudian atas dasar
inilah, Kepulauan Spratly tidak dibenarkan untuk dimiliki oleh negara manapun,
karena akan bertentangan dengan azas laut bebas tersebut. Namun seratus tahun
kemudian, muncullah azas baru yang kemudian dikenal dengan azas laut tertutup (mare clausum) yang menyatakan bahwa laut dapat dikuasai
oleh suatu bangsa dan negara saja pada periode tertentu.[iv]
Secara umum, Kepulauan Spratly memang
rawan memiliki potensi untuk terjadinya konflik terutama disebabkan oleh
beberapa hal berikut; tempat yang strategis yang dan menyangkut kepentingan
beberapa negara, konfrontasi sejarah yang panjang antar negara-negara
pengklaim, adanya beberapa klaim kepemilikan yang tumpang tindih, dan perebutan
sumber daya alam serta konflik yang paling dominan adalah terjadinya bentrokan
senjata antara Cina dan Vietnam pada tahun 1988. Inti permasalahannya adalah
adanya ketidakpastian hak kepemilikan atas pulau-pulau dan perairan di
sekeliling wilayah kepulauan Spartly.
2.2. Sudut Pandang
Hukum Internasional atas Kepulauan Spratly
Jika diihat dari sudut
pandang hukum internasional atas kalim kepulauan Spartly, maka kita bisa
mengacu kepada hukum laut internasional, yaitu UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) 1982. Ada beberapa pasal
yang terdapat dalam hukum UNCLOS yang berkaitan dengan klaim kepemilikan
kepulauan Spartly, yaitu :
1. Pasal 15 UNCLOS 1982
mengenai garis tengah dalam
penetapan batas dua negara pantai
“Untuk menentukan garis tengah wilayah laut dua negara yang berhadapan atau
bersebelahan, maka diukur dari jarak tengah dari masing-masing titik terdekat
garis pantai masing-masing negara . . .”
2. Pasal 76 UNCLOS 1982
mengenai Landas Kontinen
“Batas terluar landas kontinen suatu negara pantai dinyatakan sampai
kedalaman 200 mil laut atau di luar batas itu sampai kedalaman air yang
memungkinkan dilakukannya eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam . . .”]
3. Pasal 122 UNCLOS 1982
mengenai Laut Setengah Tertutup
“Laut Tertutup atau Setengah Tertutup yang berarti suatu daerah laut yang
dikelilingi oleh dua atau lebih negara dan dihubungkan dengan laut lainnya atau
samudera, oleh suatu alur laut yang sempit atau terdiri seluruhnya atau dari
laut territorial dan Zona Ekonomi Eksklusif dua atau lebih negara pantai.”
4. Pasal 289 UNCLOS 1982
mengenai penentuan penetapan batas wilayah
“Penetapan batas wilayah
sebaiknya dengan melakukan perjanjian internasional yang disepakati
negara-negara, dan penggunaan hak sejarah dapat digunakan asalkan tidak
mendapat pertentangan dari negara lain . . .”
5. Pasal 279, 280, 283, dan
287 UNCLOS 1982 mengenai penyelesaian sengketa
Pasal-pasal tersebut
diatas menjelaskan mengenai kewajiban dari setiap pihak yang bertikai untuk
menyelesaikan sengketa dengan cara-cara yang damai.
2.3. Kronologis
Sejarah Klaim Cina
Cina yang lebih dikenal
sebagai Negeri Tirai Bambu merupakan satu-satunya negara pengklaim kepulauan
Spartly sampai dengan Perang Dunia I. Berikut merupakan kronologis
langkah-langkah yang telah dilakukan Cina dalam upayanya menegaskan
kedaulatannya atas Kepulauan Spratly:
Dimulai pada tahun 1883: Cina memprotes ekspedisi
Jerman ke Kepulauan Spratly
Tahun 1887: Cina membuat perjanjian perbatasan dengan
Perancis (Vietnam merupakan protektorat Perancis)
Tahun 1930-1945: Kepulauan Spratly secara bergantian
dikuasai oleh Jepang dan Perancis
Tahun 1946: Cina mengirim pasukan kapal perangnya untuk menduduki Kepulauan Spratly
Tahun 1947: Cina memasukkan wilayah Kepulauan Spratly
kedalam Provinsi Guangdong
Tahun 1949: Pemerintah Komunis Cina menegasan klaim
atas seluruh Kepulauan Spratly
Tahun 1951: Perdana Menteri Chou En Lai membuat
pernyataan akan kepemilikan Kepulauan Spratly
Tahun 1958: Cina mengesahan deklarasi mengenai batas
Perairan Teritorial
Tahun 1988: Cina membangun kawasan Fiery Cross Reef yang juga diklaim oleh Vietnam
Tahun 1992: Cina membuat Undang-Undang tentang Laut
Teritorial dan Zona Tambahan
Tahun 1995: Cina membuat Peta Maritim hingga ke
wilayah Natuna Indonesia
Tauhun 1996: Cina mengesahkan undang-undang batas
perairan teritorialny
2.4. Faktor-faktor
yang Mendasari Kebijakan Klaim Cina
Klaim Cina untuk
mendapatkan kepulauan Spratly adalah berdasarkan sejarah negaranya dan garis
batas maritim tradisional. Negara yang beribukotakan di Beijing ini tidak
menggunakan acuan UNCLOS 1982 dalam mempertegas klaimnya dikarenakan keadaan
fisik wilayahnya yang tidak sesuai dengan aturan hukum yang ditetapkan. Atas
dasar inilah Cina mengemukakan klaimnya berdasarkan aspek sejarah dan juga
berdasarkan garis maritim tradisionalnya seperti ditunjukkan dalam peta batas
territorial laut Cina dengan tanda sembilan garis putus-putus pada tahun 1947.
Kebijakan yang cukup
bertentangan dengan UNCLOS 1982 adalah undang-undang terbarunya, yaitu
undang-undang Maritim yang disahkannya pada tanggal 15 Mei 1996 yang berisikan
tentang batas perairan teritorialnya yang ditarik dari garis pantai di
sepanjang daratan Cina dan Kepulauan Paracel di sebelah utara Laut Cina
Selatan, dengan menggunakan prinsip garis dasar lurus dan garis dasar negara
kepulauan. Undang-undang ini mengindikasikan Cina untuk memasukkan Spratly dan
Paracel ke dalam wilayah maritimnya seluas 200 mil dari laut. Untuk mewujudkan
ambisinya, Cina menghubungkan wilayah daratan negaranya dengan Pulau Hainan,
lalu menerapkan garis dasar negara kepulauan di sekeliling Kepulauan Paracel.
Hal ini bertolak belakang dengan UNCLOS, karena sejalan dengan ketentuan
didalamnya Kepulauan Paracel tidak dapat diartikan sebagai kepulauan, karena
tidak memenuhi kriteria kepulauan seperti yang tercantum dalam UNCLOS.
Faktor lain yang cukup
beralasan adalah kepentingan nasionalnya untuk mempertahankan wilayah
kedaulatannya yang sedemikian luas agar tetap terintegrasi sehingga dapat
memperkuat daya saing negaranya di kancah
internasional. Ambisi ini semakin meruncing semenjak berakhirnya Perang Dingin
dimana dua kekuatan utama dunia, Amerika Serikat dan Uni Sovyet mulai meredup. Dalam hal ini Cina ingin tampil sebagai pusat kekuatan baru yang bisa
diperhitungkan.
Selain faktor-faktor diatas,
Negeri Tirai Bambu ini juga haus akan
sumber daya alam yang terkandung didalamnya dimana kawasan ini dinilai
mempunyai cadangan kandungan mineral yang melimpah seperti hidrokarbon,
tembaga, fosfat, dan terutama minyak bumi. Alasan ini sangat logis karena selama
ini Cina selalu kekurangan sumber-sumber daya alam mineral di daratan untuk
menunjang pembangunan industrinya serta untuk menunjukkan supremasinya sebagai
negara besar dengan indikator perekonomian yang maju.
2.5. Peran
diplomasi ASEAN Dalam Penyelesaian Konflik Kepulauan Spratly
ASEAN merupakan
organisasi kawasan di Asia Tenggara memegang peranan penting dalam menjaga
stabilitas keamanan di Asia Pasifik. Dalam konflik ini terdapat dua negara
anggota ASEAN yang terlibat, yaitu Malaysia dan Filipina. Oleh karena itu ASEAN
harus ikut terlibat dalam upaya menyelesaikan masalah yang mengikutsertakan 2
anggotanya. Dalam hal ini ASEAN berupaya menggunakan soft power melalui sebuah diplomasi yang kemudian
dikenal dengan istilah diplomasi bersama. Diplomasi ini dalam bentuk mengadakan
sebuah forum dialog pada tingkat multilateralisme dengan kebijakannya
menggandeng Cina ke dalam forum tersebut. Pelibatan Cina sebagai pihak yang
dianggap sebagai ancaman di kawasan adalah salah satu bentuk diplomasi
preventif dalam dialog yang digagas ASEAN. Forum internasional itu bertemakan ASEAN Regional Forum (ARF) yang beranggotakan
10 negara anggota ASEAN yang kemudian ditambah Negara Amerika Serikat,
Australia, Jepang, Kanada, Korea Selatan, Rusia, Uni Eropa, Selandia Baru, serta
Cina.
Tujuan ASEAN membentuk
forum ini yaitu: pertama, adanya peluang konflik antar negara yang disebabkan
oleh pergeseran kekuasaan sebagai akibat dari pembentukan ekonomi yang pesat.
Kedua, sikap keanekaragaman dalam kawasan menyebabkan perbedaan pendekatan
terhadap masalah perdamaian dan keamanan. Serta yang ketiga adalah konflik
teritorial dan pertikaian yang menyangkut hal lain antar negara yang belum
terselesaikan.
ASEAN juga prakarsa atas
adanya sebuah forum khusus yang mengagendakan masalah Kepulauan Spratly sebagai
agenda pembahasan yaitu dalam forum ASEAN-Cina
Senior Officials Consultation (ACSOC). Forum ini berlangsung pada bulan
April 1995 dan berakhir pada tahun 2002.[vi] Dalam forum ini ASEAN bermaksud untuk mengatur tindakan Cina sebagai negara
pengklaim Kepulauan Spratly terbesar dan terkuat.
Upaya diplomasi ketiga yang ditempuh ASEAN
adalah dengan membentuk code of conductantar pihak yang
terlibat persengketaan serius dalam klaim kawasan kepulauan Spartly. Isi daricode of conduct tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Sengketa territorial
diantara kedua belah pihak tidak boleh mempengaruhi dalam perkembangan hubungan
normal diantara mereka. Sengketa akan diselesaikan dengan cara damai dan
bersahabat melalui diplomasi konsultasi yang berdasarkan persamaan dan sikap
saling menghormati.
2. Harus diambil upaya
untuk membangun sikap saling percaya diantara kedua belah pihak untuk
memperbaiki suasana perdamaian dan stabilitas di kawasan, dan untuk menahan
diri dari penggunaan kekuatan atau ancaman untuk menggunakan kekuatan militer
dalam menyelesaikan sengketa.
3. Dengan semangat untuk
mencari titik persamaan dan mengurangi perbedaan, proses kerjasama bertahap dan
progresif akan diambil, dengan mempertimbangkan perundingan untuk menyelesaikan
sengketa kawasan tersebut.
4. Kedua belah pihak
sepakat untuk menyelesaikan pertikaian sesuai dengan UNCLOS 1982.
5. Kedua belah pihak
sepakat untuk bersikap terbuka atas prakarsa dan usulan konstruktif dari
negara-negara di kawasan untuk membangun kerjasama multilateral di Laut Cina
Selatan pada waktu yang tepat.
6. Saling mendorong
kerjasama di bidang perlindungan kelautan, pencegahan, penanggulangan
kecelakaan, operasi SAR (Search and
Rescue), meteorology dan penanggulangan potensi konflik.
7. Kedua belah pihak harus
bekerjasama untuk melindungi dan mengkonversi sumber-sumber daya di Laut Cina
Selatan.
8. Perselisihan akan
dilaksanakan oleh negara-negara yang terlibat secara langsung tanpa mengganggu
kebebasan navigasi di Laut Cina Selatan.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Klaim yang digunakan oleh negara-negara
yang bersangkutan tidak selamanya menggunakan atas dasar aspek-aspek hukum yang
sudah tercantum dalam Hukum Laut
Internasional. Misalkan saja Cina yang menuntut dengan dasar aspek-aspek
sejarah negaranya. Cina sadar jika klaimnya didasarkan pada ketetapan landas
kontinen 350 mil laut dan ZEE 200 mil laut, dapat dipastikan secara otomatis
Cina tidak akan pernah memiliki hak atas Kepulauan Spratly.
Pendekatan diplomasi soft power yang dilakukan ASEAN ternyata cukup
membuahkan hasil karena mampu menggandeng Cina yang selalu dikhawatirkan
sebagai ancaman kedalam forum diplomasi tersebut. Cina juga bersedia untuk melaksanakan
kesepakatan-kesepakatan kerjasama yang dihasilkan dalam setiap forum yang
diselenggarakan. Setelah melewati proses perundingan, maka terdapat tiga
kemungkinan yang akan terjadi, yaitu: munculnya konflik militer, terciptanya
persetujuan damai, dan terciptanya kerjasama diantara negara yang bersengketa.
Rekomendasi yang mungkin dapat dilakukan
dalam penyelesaian persengketaan ini adalah pengelolaan bersama atas potensi
sumberdaya alam yang terkandung di kawasan kepulauan Spartly. Kerjasama ini adalah
upaya bersama dalam peredaan ketegangan antar negara pengklaim kepulauan
Spartly di kawasan Laut Cina Selatan. Hal ini mungkin dapat direalisasikan
karena penyelesaian masalah-masalah yang berkaitan dengan aspek politik dan
yuridis seperti pertentangan batas-batas ZEE, landas kontinen dan kepemilikan
kawasan kepulauan Spartly tampaknya memerlukan penyelesaian yang cukup alot
dari segi waktu maupun aspek-aspek yang mendasarinya, karena hal ini berkaitan
dengan integritas dannational interest masing-masing Negara. Oleh karena itu, upaya yang dapat ditempuh dalam
jangka pendek adalah diplomasi antar negara-negara yang bersangkutan terkait
dengan pengelolaan potensi konflik dengan pengembangan kerjasama untuk
pengolahan serta pemanfaatan sumber daya alam yang terdapat di kawasan
kepulauan Spartly.
DAFTAR PUSTAKA
CPF, Luhulima. ASEAN Menuju Postur Baru. Jakarta :
CSIS, 1997.
United Nations
Convention on the Law of the Sea (UNCLOS)- Montego Bay, 10 Desember 1982.http:
//www.admiraltylawguide.com/conven/unclostable.htm
0 komentar:
Posting Komentar